Rabu, 12 Agustus 2009

Best Practice Pelatihan Kontrak Politik & Kontrol Politik Tanggal 26 Juli 2009 di Salatiga




Salah satu legislatif perempuan sedang menyampaikan komitmennya dalam pelatihan.


Peserta pelatihan yang berasal dari 8 kabupaten/kota sedang berdiskusi.


Salah satu peserta mengajak anaknya yang masih kecil ke pelatihan.


Salah satu peserta sedang membujuk anaknya yang rewel.


Peserta pelatihan sedang berdiskusi kelompok untuk menentukan point-point kesepakatan dengan legislatif perempuan.


Salah satu legislatif perempuan sedang menandatangani kontrak politik.

Kesempatan bertemu antara konstituen dan legislatif ternyata sangat dibutuhkan dan menjadi “ajang” untuk saling mengenal satu dan lainnya. Kelima orang legislatif perempuan yang hadir dalam pelatihan ini mencuri perhatian peserta, karena perjalanan karirnya menunjukkan komitmen mereka untuk memperjuangkan suara perempuan. Empat orang dari legislatif perempuan yang hadir adalah aktifis perempuan yang program-programnya menyentuh kebutuhan perempuan marginal jauh sebelum mereka menjadi caleg dan terpilih menjadi legislatif perempuan. Ada salah seorang legislatif perempuan yang mendampingi “anak jalanan” menguraikan pengalamannya yang tragis dan sekaligus membanggakan peserta. Ia menolong “anak jalanan”, menampung mereka di rumahnya, dan membantu menyediakan makanan dan minuman. Pada suatu ketika, anak-anak jalanan tersebut mengkuras isi rumahnya habis-habisan, termasuk semua pakaiannya sebanyak 2 almari besar. Mereka mengkuras seluruh isi rumah dan menelepon si Ibu akan semua yang telah mereka lakukan. Si Ibu mengikhlaskannya karena mereka masih berkata jujur dan melakukannya untuk kelangsungan hidup mereka di “jalanan” bersama komunitasnya. Cerita perdampingan terhadap “pekerja seks komersial”, program pemeliharaan kehamilan gratis bagi ibu-ibu miskin, perjuangan alokasi dana pemerintah bagi program perempuan miskin, sampai dengan perjuangan mempengaruhi kebijakan pemerintah kabupaten untuk memperbanyak camat perempuan menjadi “sharing” yang sangat menarik dalam diskusi ini. Juga perjuangan legislatif perempuan ini hingga terpilih, tidak lepas dari perjuangan seorang perempuan dalam menghadapi masyarakat yang patriarkhi. Masyarakat masih memandang remeh perempuan. Terungkap dari 2 legislatif perempuan, bagaimana mereka keluar dari pekerjaannya sebagai PNS yang cukup punya jabatan untuk menjadi legislatif perempuan. Mereka pernah gagal dalam pemilu 2004 lalu dan masyarakat mengatakan “Anda melakukan keputusan yang salah. Politik bukan tempat Anda sebagai perempuan”. Pemaparan para legislatif merupakan pengalaman konkrit perempuan untuk belajar, bergumul, dan berjuang sebagai seorang perempuan dalam kancah politik. Dari “sharing” ini, ada seorang peserta (penjahit) yang selama ini hanya berkutat dengan jahitannya di rumah, mengatakan dari diskusi ini Ia menjadi paham politik dan terungkap, “sekarang saya menjadi tahu bahwa politik itu bukan sesuatu yang jauh dari kehidupan perempuan, juga keterwakilan perempuan ternyata sangat penting karena ada kebutuhan perempuan hanya diketahui/dirasakan oleh perempuan”.

Dalam diskusi kelompok, saya salut dengan semangat ibu-ibu untuk belajar dan berbagi pengalaman. Salah satu ibu mengungkapkan dalan kesempatan pertama diskusi, permasalahan yang harus menjadi perhatian adalah gizi buruk balita dan angka kematian ibu melahirkan yang msih tinggi. Dia seorang kader posyandu, dulu posyandunya mendapat dana subsidi dari pemerintah. Ketika subsidi terhenti, dia menggalang dana dari masyarakat desanya. Pengalaman ibu yang lain mengatakan inti permasalahan perempuan adalah keterbatasan ekonomi, tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang cukup untuk perempuan. Seandainya pemerintah Kota Salatiga cukup menyediakan lapangan pekerjaan, maka tidak perlu susah-susah ke luar negeri menjadi TKW. Perempuan juga akan mempunyai penghasilan dan bisa membantu perekonomian keluarga, anak-anak akan lebih sejahtera. Mereka sangat kritis dalam menyikapi dunia pendidikan, mereka bilang pendidikan gratis hanya slogan. Yang terpenting dalam diskusi kali adalah adanya kesadaran bahwa poligami merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan, kekerasan psikis. Salah satu ibu bercerita bahwa dia menolak ketika akan dijadikan istri kedua, dan ini didukung oleh ibu-ibu yang lain, karena kita sebagai perempuan seharusnya saling membantu bukan saling menyakiti. Saya melihat dalam forum ini nilai-nilai sisterhood yang tersirat, dan ini akan menjadi modal perjuangan perempuan untuk meraih hak-hak mereka yang masih terabaikan.

Hal menarik lainnya, ternyata pemaparan yang menarik dari legislatif tidak semuanya bisa direalisasikan karena “keberanian” legislatif perempuan masih menghadapi tantangan. Hal ini terungkap dari ada 1 orang dari legislatif perempuan yang belum mau memberikan komitmen konkrit berupa menandatangani kontrak politik secara bersama-sama. Dari 5 legislatif perempuan, ada 1 orang (sebut saja namanya Ibu Shinta – nama alias) yang menolaknya secara halus. Argumentasi dari legislatif ini adalah tidak perlu membuat kontrak politik secara formal karena tidak ada gunanya bila tidak dilaksanakan. Alasan lainnya ia tidak ikut membubuhkan tanda tangan karena ia belum yakin bisa tetap menjadi legislatif dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi terkait perhitungan suara. Ketua Tim CSO sempat menghampiri Ibu Shinta yang hendak berpamitan, pada saat itu ia konsultasi dengan suaminya yang kebetulan mendampingi untuk meminta kepastian apakah Ia perlu berpartisipasi membuat kontrak dan kontrol politik. Suami beliau memberikan pendapat untuk tidak terlibat dengan alasan belum dilantik menjadi anggota legislatif. Nampak, pendapat suami cukup memperngaruhi keputusan Ibu Shinta. Dari gambaran ini merupakan gambaran konkrit bahwa tidak semua legislatif perempuan mandiri menentukan suaranya (keputusannya) atau masih menjadi “bayang-bayang” dari laki-laki (suami, saudara, pengurus partai, dll). Namun sikap Ibu Shinta tidak menyurutkan semangat keempat legislatif perempuan lainnya, peserta, dan CSO. Sessi ini adalah sessi yang paling menarik dan penuh “kejutan”. Antusias peserta ditunjukkan dengan spontanitasnya maju ingin membubuhkan tanda tangan. Sempat terlontar dari bibir peserta maupun legislatif perempuan bahwa peristiwa ini adalah satu peristiwa yang “khusus” karena belum pernah terjadi sebelumnya. Semua legislatif maupun peserta merasakan ini adalah pengalaman pertama membangun komitmen politik. Seminggu setelah selesai acara ini, saya bertemu dengan beberapa peserta dalam satu kegiatan lainnya dari PPSG-UKSW. Di sela-sela acara ini, 4 orang yang sempat mengikuti pelatihan tersebut mengatakan (saya simpulkan), “wah kegiatan kemarin itu memang kegiatan yang istimewa karena kami baru pertama diundang mendiskusikan untuk ikut menyuarakan suara perempuan. Biasanya kami tidak diperhitungkan sebagai “orang kecil” dan perempuan lagi. Dulu kami pikir politik itu hanya menjadi anggota partai, kampanye, dan terlanjur punya pandangan negatif bahwa partai itu bisanya hanya mengumbar janji-janji. Ternyata kita bisa ikut berperan dalam mengontrol suara perempuan. Kami tertarik untuk ikut kelanjutan programnya biar nasib kita-kita ini diperhatikan”.

Tim Riset Aksi (Koalisi 4 lembaga):
* Arianti Ina R. Hunga (PPSG-UKSW - Penanggungjawab Program)
* Purwanti Asih Anna Levi (Parahita Foundation)
* Mila Karmilah (Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Cabang Jawa Tengah)
* Siti Malaiha Dewi (L@PPIS Kudus)
* Siti Munasifah (Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Cabang Jawa Tengah)
* Purwanti Kusumaningtyas (PPSG-UKSW)
* Mustika Kuri Prasela (PPSG-UKSW)
* Dhyah Ayu Retno W. (PPSG-UKSW)
* Yuliani (PPSG-UKSW)
* Wahyu K. Herlambang (PPSG-UKSW)
* Tundjung Mahatma (PPSG-UKSW)
* Florida I. Tawesi (PPSG-UKSW)
* Surono (PPSG-UKSW)
* Suharni (Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Cabang Boyolali
* Iin Arinta F. (Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Cabang Magelang
* Volunteers dari 4 lembaga koalisi & personal