Sabtu, 13 Desember 2008

Riset Unggulan Terpadu (RUT) - Ristek 2000-2002: Transformasi IKM Berbasis Pekerja Rumahan & Keluarganya dalam Perspektif Gender

Krisis ekonomi, moneter, dan politik di Indonesia sejak Oktober 1997 semakin memberikan dampak negatif bagi pengembangan usaha dan ketenagakerjaan yang selama ini sudah menunjukkan tanda-tanda ‘kerapuhan’ karena karena ketidakmampuan untuk mengelola usaha secara efisien dan profesional serta tidak berbasis pada sumber daya lokal. Kondisi belakangan ini menunjukkan perusahaan menengah - atas yang banyak tergantung pada bahan baku import semakin banyak yang terancam tutup. Dalam kondisi usaha yang sangat memprihatinkan tersebut, industri mikro, kecil dan menengah masih bisa bertahan hidup dalam kondisi minimal. Daya tahan industri kecil dan menengah nampaknya lebih kuat dalam menahan hempasan krisis ekonomi dan moneter, selain lebih banyak memakai bahan baku lokal, diduga juga karena berbasis pada pekerja keluarga. Tenaga kerja rumahan merupakan tenaga murah yang sering dieksploitasi untuk menekan biaya produksi sehingga mampu menghadapi persaingan pasar untuk bisa bertahan hidup meskipun dalam kondisi ekonomi yang semakin memprihatinkan.

Sistem usaha seperti itu, yang mempekerjakan tenaga kerja tanpa menyediakan gedung dan fasilitas kerja lainnya bagi tenaga kerja, berkembang sejak tahun 1990-an. Sistem ini telah mendorong pengusaha untuk memberi peluang kepada tenaga kerja untuk bekerja di rumahnya. Hal ini telah menciptakan adanya status pekerja rumahan (home workers) yang secara formal tidak tercatat dalam data statistik dan tidak terakomodasi dalam UU ketenagakerjaan. Sebagian besar pekerja rumahan adalah perempuan, baik ibu rumah tangga, dewasa belum menikah, maupun anak-anak. Bagaimana kondisi dari usaha kecil menengah yang mempekerjaan tenaga kerja rumahan, bagaimana kondisi tenaga kerja rumahan tersebut dalam kaitannya dengan keluarga mereka, serta interaksi mereka dengan industri kecil menengah belum banyak diungkap. Sebagian besar tenaga kerja rumahan tidak terikat dalam ikatan kerja yang formal, tidak diakui sumbangannya, tidak mengetahui haknya, menyediakan sendiri fasilitas kerja, mengelola usahanya dengan teknologi/peralatan sangat sederhana, menanggung sendiri resiko kerja, dan jam kerja yang panjang atau tidak menentu adalah sebagian dari potret tenaga kerja rumahan tersebut. Dalam kondisi ekonomi yang semakin buruk tidak ada pilihan bagi mereka kecuali terus bekerja agar keluarga bisa bertahan hidup walaupun dengan mengeksploitasi diri dan sumber daya keluarga. Kondisi marginal ini akan terus berlangsung dalam kondisi ekonomi dan yang semakin memburuk.

Bagi masyarakat miskin, industri kecil dan menengah merupakan sumber peluang kerja yang sangat berarti di tengah kelangkaan lahan dan peluang kerja di sektor lainnya. Untuk itu upaya transformasi kinerja industri kecil dan menengah berbasis pekerja rumahan dan keluarganya dalam perspektif gender dalam krisis keuangan dan moneter menjadi kebutuhan yang mendesak. Kinerja industri kecil dan menengah yang berbasis bahan lokal, faktor kompetitif produk dan wilayah, keterkaitan usaha untuk meningkat kinerja dan nilai tambah, manajemen usaha, kepedulian pada lingkungan, serta pemberdayaan tenaga kerja rumahan merupakan faktor-faktor yang dianggap dapat meningkatkan daya saing, nilai tambah, dan kontinuitas produksi sekaligus ketahanan sosial-ekonomi keluarga pekerja rumahan. Penelitian ini didesain untuk dapat mengungkapkan dinamika usaha industri kecil dan menengah berbasis pekerja rumahan dan keluarganya dalam perspektif gender dalam upaya melakukan transformasi kinerja industri kecil dan menengah yang diuraikan di atas.

Ketua Tim Riset Aksi: Ir. Arianti Ina R. Hunga, M.Si.

Pendampingan Penyusunan Program Pemulihan Ekonomi bagi Pengrajin Rumahan di Industri Batik & Konveksi Pasca Gempa Bumi di Kabupaten Klaten

Sektor industri mikro-kecil berkembang dengan cepat dan menjadi andalan Kabapaten. Klaten. Disperindag (awal 2006) mencatat sebanyak 35.767 unit usaha dan menyerap tenaga kerja sebanyak 165.906 orang yang terdiri dari 33 jenis industri sebagai andalan kabupaten Klaten. Dari seluruh unit usaha itu, 35.506 unit usaha (96,6%) berupa industri mikro-kecil berbasis pada rumah tangga yang mampu menyerap 142.020 orang tenaga kerja. Industri mikro-kecil ini sebagian besar merupakan industri mikro-kecil kerajinan yang berbasis pada sistem “putting-out” atau sebagian besar proses produksinya berada di rumah-rumah pekerja (Pekerja Rumahan). Jenis industri mikro-kecil ini tersebar di beberapa desa dan memproduksi sekitar 20 jenis kerajinan, meliputi 4.874 unit usaha, menyerap tenaga kerja sebanyak 19.149 orang, dengan nilai investasi 141 Milyard. Kerajinan tersebut antara lain: akar kayu, kayu jati/mahoni, bambu, gitar, keramik, tanduk, kayu glugu, sulak, batu alam, besi/kaleng, mainan anak, topeng kayu, batik, bordir, kulit, rambut, tenun, tali-temali, sablon, alat olah raga. Salah satu produk khas Kabupaten Klaten yang dikenal luas dan telah menjadi mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah batik baik pada media kain, kayu, maupun kulit dan konveksi.

Peristiwa gempa secara keseluruhan menimbulkan situasi problematik antara lain menurunnya kinerja industri mikro-kecil dan Pekerja Rumahan batik dan konveksi. Situasi problematik ini tidak terlepas dari persoalan:

a) Gempa yang terjadi tidak hanya merusak rumah tinggal yang sekaligus menjadi tempat kerja dan tempat peralatan kerja, tetapi juga mengganggu sistem produksi yang selama ini sudah terbangun. Rusaknya sistem produksi (”putting-out”) berarti mengganggu produksi secara keseluruhan.

b) Terbatasnya kemampuan industri mikro-kecil batik dan konveksi, serta pekerja rumahan untuk merespon (meraih kembali) pasar yang sebelumnya maupun mencari peluang pasar baru dan beradaptasi terhadap perubahan sistem (”putting-out”) yang terjadi akibat gempa.

c) Lemahnya kelembagaan pada aras komunitas batik dan konveksi. Keterbatasan ini terkait dengan:
1) Fasilitas kerja dan tempat kerja yang tidak memadai yang sebagian besar berada pada basis pekerja rumahan yang kemampuan finansialnya sangat terbatas.

2) Keterbatasan SDM:
* pola pikir, pemahaman, dan wawasan untuk merespon perubahan dengan kreatif;
* daya tawar SDM yang lemah dalam aspek produksi dan pemasaran karena keterbatasan ketrampilan. Mereka dikondisikan untuk mengerjakan satu jenis pekerjaan (spesifik) secara terus-menerus dan tidak terpikir atau terbuka peluang untuk meningkatkan/mempunyai ketrampilan lainnya untuk meningkatkan nilai ’tambah’ produk atau diversifikasi produk;
* keterbatasan akses terhadap inovasi & teknologi pengembangan produksi maupun pemasaran;
* kemampuan finansial (modal) untuk merespon perubahan secara cepat; dan
* pengelolaan usaha/pekerjaan belum berorientasi pada kebutuhan pasar yang terus berubah).

(3) Produk yang dihasilkan masih memiliki keterbatasan kualitas produk, nilai dan nilai tambah produk,lemahnya pengembangan produk karena keterbatasan penguasaan teknologi & fasilitas kerja, daya saing produk (harga jual tinggi, jangkauan pasar, dan ketersediaan), produktifitas, konsistensi & bekerlanjutan produk yang masih rendah).

(4) Keterbatasan kelembagaan, persoalan dan kebutuhan pada aras persoanal (pengusaha dan pekerja) belum diangkat menjadi persoalan dan kebutuhan bersama secara kelembagaan untuk membangun daya tawar.

Untuk memecahkan persoalan ini dibutuhkan program pemulihan ekonomi sub-sektor ini yang menekankan pemulihan dan peningkatan capacity building dari komunitas perbatikan dan konveksi (penataan aspek pasar, SDM, produk, dan kelembagaannya). Oleh karena itu ruang lingkup program meliputi 2 komponen yang saling terintegrasi, antara lain:
a) program aksi yang menekankan peningkatan akses pasar dan pemasaran untuk perluasan pasar dan penciptaan peluang kerja.
b) Peningkatan capacity building komunitas batik dan konveksi melalui kegiatan: pelatihan dan praktek, advokasi dan pendampingan, dan kelembagaan berupa pengorganisasian sasaran program dalam satu kesatuan produksi dalam bentuk Kelompok Kerja Bersama.

Tim Riset Aksi:
Ir. Arianti Ina R. Hunga, M.Si. (Ketua)
Drs. Tri Kadarsilo (Anggota)
Purwanti Asih Anna Levi, S.S. (Anggota)

Jumat, 12 Desember 2008

SWCU's 52nd Anniversary: International Conference on the Global Impact of Women Migrant Workers from South East Asia


To celebrate the Satya Wacana Christian University 52nd Anniversary, the Center for Gender Research and Studies - Satya Wacana Christian University (Indonesia) together with I-SEED (Austria) have hosted on December 2, 2008 an International Conference on the Global Impact of Women Migrant Workers from South East Asia. It aims at providing the scientific foundation for further action on the wider topic of Women Migrant Workers from South East Asia. It has to be stressed that the 2008 Salatiga Conference did not be a political conference but that its aims are solely scientific.

In this conference 6 papers have been presented. They are:
1. Responding to National Policies on Migrant Workers: Activism of Indonesian Local NGOs (Solidaritas Perempuan and Migrant CARE)
By Sylvia Yazid. PhD Candidate. School of Political and Social Inquiry, Faculty of Arts,
Monash University, Melbourne, Australia

2. The Anemia Status of Local Women Migrant Who Worked as “Gendong Labour” in Legi Traditional Market at Surakarta City
By dr. Anik Lestari & dr. Diffah Hanim (Center for Gender Studies, Sebelas Maret University)

3. Women Migrant Workers’ Reaction to the Marginalization
Arianti Ina R.Hunga (Center for Gender Reseach & Studies – Satya Wacana Christian University)

4. The Social Impact of Women Migrant Workers Influencing Women Migrant Workers and Their Families in Fulfilling Family Functions (A Case Study in Salatiga)
By Purwanti Asih Anna Levi (Center for Gender Research and Studies - Satya Wacana Christian University)

5. The Concept of Success among Women Migrant Workers: A Case Study in Salatiga
By Purwanti Kusumaningtyas. (Lecturer of Faculty of Language and Literature, Satya Wacana Christian University, Salatiga. She is interested in gender studies, literary and cultural studies and alternative education)

6. An Emic Study of the Phenomenon of Muted Women Migrant Workers in Salatiga and its Surrounding Towns
By Mustika Kuri Prasela (Communication Department, Faculty of Social and Political Science Satya Wacana Christian Univesity & Gender Study Center Satya Wacana Christian University)

Kajian Wanita - Dikti 2008: Muted Group dalam Keluarga Pekerja Migran Perempuan (Studi Emik Kasus di Kota Salatiga & Sekitarnya)


Calon TKI/W sedang belajar Bahasa Inggris di SDN Glawan.


Calon TKI/W sedang belajar Bahasa Inggris bersama tim peneliti di rumah salah seorang peserta

The condition of migrant workers is getting worse because of the poor preparatory training. Their poor educational background, which is rooted back from their childhood, results in low bargaining position. There is a notion that they do not decide for themselves what education suits them, but social and cultural values influence and dominate them. Their rights to voice their intention to continue education are impeded by the stereotype and subordinated by their families and society.

Thus, research on social cultural domination on migrant workers in terms of education access becomes necessary. The domination pattern and exploitation fact on the migrant workers could emerge on their in-group communication pattern. Communication pattern amidst the community members in migrant workers supplier territory could be one of the precious clues to trace. In communication occur many message transfers which provide us evidence of devaluation of migrant workers’ education access.

This research is an emic study with gender perspective that also implements muted group theory. The theory is employed to scrutinize migrant workers’ education access marginalization and delegitimation. Emic study certainly is a participatory research and therefore, this study focuses on the pattern of dialog about education in the family and society.

This research is to find out how those migrant workers’ lack of space to express themselves in terms of educational matters. They got many influences from family and society which hampers their desire to continue education. Finally, those interventions emerge as a dominant argument in the education communication pattern.

Keywords: Migrant worker, muted group, low education access, communication pattern.

Research Team:
Mustika Kuri Prasela, S.Si
Anita Patricia, S.Sos.
Volunteers

Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender (PKBG): Mengelola Usaha Produktif Rumah Tangga





Pelatihan menjahit untuk memenuhi order dari pasar luar negeri (Belanda)


Pelatihan membuat handicraft yang melibatkan anggota keluarga laki-laki & perempuan

Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender masih menjadi persoalan dalam masyarakat Indonesia, tidak terkecuali bagi masyarakat Kota Salatiga. Hal ini muncul dalam tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang cenderung meningkat dalam 3 tahun terakhir ini di Jawa Tengah, khususnya di Kota Salatiga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) muncul dalam dimensi yang luas, tidak hanya dalam bentuk fisik
tetapi juga psikologis maupun ekonomi. Dalam konteks ekonomi, kekerasan yang muncul berupa pemutusan akses dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi rumah tangga, larangan untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi produktif, tidak memberi nafkah, dsb.

Pemecahan persoalan ini menjadi sangat efektif bila dimulai dari pendidikan keluarga yang berbasis gender yang diwujudkan dalam aktifitas ekonomi bersama yang melibatkan suami (laki-laki), isteri (perempuan), dan anak. Dalam aktifitas konkrit ini, dimasukkan/diintegrasikan aspek pendidikan untuk mengubah kerangka berpikir, pandangan-pandangan, dan perilaku yang bias gender selama ini. Aktifitas ini sekaligus untuk menjawab persoalan kemiskinan yang masih membelenggu masyarakat hingga saat ini. Pemecahan masalah kemiskinan perempuan merupakan hal ”mendasar” yang perlu dilakukan oleh bangsa ini karena menyangkut pemenuhan HAM. Salah satu kebijakan pemerintah dalam aspek pendidikan untuk merespon persoalan ini adalah adanya Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dinyatakan bahwa salah satu program Pendidikan Informal adalah Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender (PKBG). Program ini merupakan respon pemerintah terhadap program pengarusutamaan genger (PUG) yang diarahkan dalam pendidikan informal. Program ini tidak hanya diarahkan pada kemampuan kognitif, tetapi menekankan perubahan perilaku dan kemampuan teknis (ketrampilan) yang dapat menjadi ”alat” untuk dapat mengambil peran aktif dalam keluarga dan masyarakat dan memperoleh penghargaan dan perlakuan yang ”setara” di antara aktor-aktor di dalamnya (laki-laki dan perempuan).

Program peningkatan kualitas SDM berwawasan gender bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi semua masyarakat. Berangkat dari pemahaman ini, maka Pusat Penelitian dan Studi Gender – UKSW bekerjasama dengan Parahita Foundation Salatiga dan Sawini Trade-Netherlands merasakan ”terpanggil” untuk ikut memberikan kontribusi dalam program pemerintah khususnya melalui Dinas Pendidikan Kota Salatiga untuk mengakses dan merealisasikan program-program di bawah Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan – Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal – Departemen Pendidikan Nasional. Sebagai wujud komitmen ini, dirintislah program Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender (PKBG) yang menjadi bagian tak terpisahkan dari program pendidikan perempuan, yang diarahkan untuk meningkatkan akses dan kualitas SDM perempuan agar mampu mengambil peran aktif dalam masyarakat.

Tim Riset Aksi:
Ir. Arianti Ina R. Hunga, M.Si. (Ketua)
Purwanti Asih Anna Levi, S.S. (Anggota)
Hannah van Grimbergen (Anggota)
Lotte Driedonks (Anggota)
Eunice Frijde (Anggota)
Kristiani Rahayu, M.Pd. (Anggota)
Dra. Prastiwi (Anggota)

Pendidikan Perempuan: Membangun Kapasitas Ekonomi Produktif






Pelatihan membuat handicraft bertema Natal dari bahan ban bekas dan kertas daur ulang

Kualitas sumber daya manusia perempuan menentukan kemajuan suatu masyarakat dan generasi mendatang. Pentingnya aspek ini bukan hanya karena perempuan mempunyai fungsi kodrati untuk hamil, melahirkan, dan memelihara anak. Dalam konteks ini pendidikan perempuan akan menentukan kualitas anak yang menjadi generasi mendatang. Lebih dari itu, sebagai manusia perempuan mempunyai hak dasar untuk memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam berkontribusi dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini justru menjadi masalah pelik dari bangsa Indonesia khususnya di Kota Salatiga di tengah realitas di mana kesempatan ini masih terbatas bagi sebagian besar perempuan. Pemecahan kemiskinan merupakan hal ”mendasar” yang perlu dilakukan oleh bangsa ini karena menyangkut pemenuhan HAM.

Salah satu kebijakan pemerintah dalam aspek pendidikan untuk merespon persoalan ini adalah adanya Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dinyatakan bahwa salah satu program Pendidikan Non Formal adalah Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH atau life skill). Program ini diarahkan bagi masyakat yang tidak memunyai akses atau kesempatan di pendidikan formal dan berasal dari keluarga miskin. Ketrampilan yang dimiliki diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pribadi peserta didik agar mampu mengambil peran aktif dalam kegiatan produktif dan khususnya menjadi ”bekal” mencari nafkah atau meningkatkan kualitas hasil pekerjajaan untuk mendukung ekonomi keluarga.

Program peningkatan kualitas SDM bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi semua masyarakat. Berangkat dari pemahaman ini, maka Pusat Penelitian dan Studi Gender – Universitas Kristen Satya Wacana bersama-sama dengan Parahita Foundation merasa ”terpanggil” untuk ikut memberikan kontribusi dalam program pemerintah melalui program Pendidikan Perempuan yang diarahkan untuk pemberdayaan perempuan sehingga perempuan mampu memberikan kualitas kontribusi dalam keluarga dan masyarakat dan memperoleh penghargaan yang setara dalam keluarga dan masyarakat.

Kerjasama Pusat Penelitian dan Studi Gender – Universitas Kristen Satya Wacana dan Parahita Fondation dalam merealisasikan program ini dalam upaya mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki dan mendukung kesinambungan program ini.

Tim Riset Aksi:
Ir. Arianti Ina R. Hunga, M.Si. (Ketua)
Purwanti Asih Anna Levi, S.S. (Anggota)
Hannah van Grimbergen (Anggota)
Lotte Driedonks (Anggota)
Eunice Frijde (Anggota)
Dra. Prastiwi (Anggota)

Kajian Wanita - Dikti 2008: Perubahan Peran Gender & Marginalisasi Perempuan dalam Keluarga Pekerja Migran -Studi Kasus di Kota Salatiga & Sekitarnya







Persoalan Perempuan Pekerja Migran (TKW) merupakan gambaran konkrit kemiskinan perempuan. Kompleksitas persoalan ini melibatkan berbagai pihak dan menjadi persoalan sistem dan struktural dengan faktor penyebab dan kendala yang tidak tunggal. Oleh keluarganya TKW djadikan obyek/komoditas untuk melepaskan diri dari lingkaran kemiskinan.

Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran:
1) perubahan peran gender Perempuan Pekerja Migran dalam dalam rumah tangga dan masyarakatnya;
2) bentuk-bentuk marginalisasi Perempuan Pekerja Migran dalam rumah tangga dan masyarakatnya;
3) faktor mendasar apa yang mendasari proses marginalisasi Perempuan Pekerja Migran dalam rumah tangga dan masyarakatnya.

Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dari perspektif gender. Subyek penelitian adalah TKW dan mantan TKW di salah satu desa (Desa Waru Doyong)pensuplai TKW dari Jawa Tengah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
1) Gambaran umum Desa Warung Doyong merupakan desa yang marginal, baik dalam arti kepemerintahan (sebagai wilayah “pinggiran”) maupun kemasyarakatan. Gambarannya adalah: keterbatasan lahan pertanian dan peluang kerja, SDM yang terbatas (pendidikan, wawasan, & ketrampilan), dan persoalan sosial-ekonomi yang kompleks (pengangguran, putus sekolah, hubungan seks terlarang, kekurangan gizi pada anak balita, kekerasan dalam rumah tangga, dll).

2) Perubahan peran gender yang terjadi lebih mereproduksi peran gender tradisional yang terjadi. Ketidakhadiran TKW di rumahnya tidak menyebabkan suami mengambil alih peran tersebut tetapi menggeser/mengalihkan peran tersebut pada perempuan lain, seperti orang tua, mertua, saudara (kakak/adik). Perempuan Pekerja Migran hanya mengalami mobilitas horizontal dalam arti tidak ada perubahan peran yang bermakna, yaitu hanya pergeseran dari peran domestik ke domestik. Perbedaannya hanyalah pada wilayah di mana pekerjaan itu berlangsung. Kontribusi Perempuan Pekerja Migran ternyata tidak meningkatkan posisi tawarnya dalam keluarga dan masyarakat. Mereka tetap tersubordinasi dalam “kekuasaan” para suami dan laki-laki dalam masyarakat.

3) TKW mengalami proses marginalisasi secara struktural dan sistematis yang nampak pada level rumah tangga, sistem Pekerja Migran, dan masyarakat. Marginalisasi terjadi dalam basis nilai (ucapan/bahasa/wacana, stereotype, dan maknanya) dan basis material (jenis pekerjaaan, perlakuan, dan penghargaan). Bentuknya, antara lain:

a) Negara melalui organisasi perempuan yang sudah terbentuk sejak zaman Orde Baru yaitu PKK. ‘Ideologi’ gender (ibunisme) diterjemahkan (diindoktrinasikan) dalam Mars PKK , peraturan dalam organisasi, 10 program pokok PKK, dan Panca Darma Wanita.

b) Dalam sistem yang terkait dengan profesi Pekerja Migran, profesi Pekerja Migran diwacanakan dan dimaknai sebagai “mbabu”, kelas sosial "bawah”, dan sekaligus menjadi “katup pengaman” dan “jalan” memperbaiki ekonomi. Proses marginalisasi nampak dalam:
1) Penyingkiran Perempuan dalam rantai perekonomian dalam masyarakat dan sekaligus memasukkan mereka dalam belenggu siklus per’TKW-an” yang tidak mereka ketahui secara utuh, menggunakan kapasitas diri seadanya (pendidikan rendah), dan mempertaruhkan diri akan potensi kekerasan yang ada di dalamnya;
2) Pengucilan perempuan dalam rantai ekonomi pedesaan di mana perempuan hanya memperoleh sedikit sekali peluang ekonomi di desa yang memang semakin hari semakin sedikit;
3) Feminisasi Pasar Pekerja Migran. Perempuan mengalami obyektifikasi keperempuanan mereka dalam siklus pekerjaan yang identik dengan Buruh dan PRT;
4) Pemiskinan TKW atau dirinya adalah wujud akhir dari semua yang dilakukan yang sedianya untuk keluarga. Apa yang diperoleh tidak memberikan dampak pada mobilitas vertikal dalam rumah tangga dan masyarakat.

c) dalam rumah tangga TKW merupakan pihak yang disalahkan/“ditumbalkan” jika terjadi kegagalan pendidikan anak dan kehancuran keluarga akibat perceraian, perselingkukan, kehamilan tidak diinginkan, pernikahan usia dini, dll.

d) “Solidaritas” dan “distribusi” beban ganda (kemiskinan) pada sekelompok perempuan dalam ikatan persaudaraan untuk memikul tanggung jawab rumah tangga karena ketidakhadiran isteri yang berprofesi sebagai TKW. Faktor mendasar marjinalisasi Perempuan Pekerja Migran dalam keluarga adalah “ideologi” gender. Nilai-nilai berdasarkan gender disosialisasikan sejak kecil, membangun “kesadarn subyektifitas”, selanjutnya menjadi acuan dalam identifikasi dan menentukan pilihan pekerjaan, serta membentuk sikap untuk menerima fakta marginalisasi yang diperoleh. Mengacu pada penelitian kajian wanita ini, pendidikan kritis bagi perempuan merupakan kebutuhan untuk membangun kapasitas diri perempuan dalam membangun daya tawar. Untuk itu dibutuhkan penelitian dan aksi lanjut yang bisa memberikan kontribusi baik secara konseptual dan praktis. Penelitian ini diarahkan untuk menjawab persoalan dan kebutuhan subyek penelitian. Ada tiga komponen yang akan menjadi perhatian, yaitu:

1) SDM yang ditekankan pada bagaimana melakukan pendidikan kritis untuk membangun sikap kritis.
2) pengembangan inovasi yang diarahkan untuk transfer ketrampilan (life skill) yang mengarah pada membangun jiwa wirausaha; dan
3) membangun kelembagaan (pengorgansasian) pada aras perempuan calon, pekerja migran maupun mantan pekerja migran sebagai basis membangun capacity building menghadapi sistem per‘TKW-an” yang semakin kompleks. Out-put dari penelitian ini pada aras konseptual adalah model penelitian daya tawar dan pada aras praktis adalah peningkatan daya tawar pekerja migran. Penelitian akan menggunakan metode partisipatory action research (PAR) yang diarahkan untuk rekayasa sosial dari pendekatan intersiplin.

Tim Peneliti:
Purwanti Kusumaningtyas, M.Hum. (Ketua)
Purwanti Asih Anna Levi, S.S. (Anggota)
Volunteers